Dulu, saya mempunyai 3 ekor kucing.
Bukan kucing ras yang harganya berjuta-juta hanya kucing dari kalangan bawah
yaitu kucing kampung. Saya memungut mereka dari tempat sampah.
Ceritanya begini.
Sekitar
pukul 20.00 WIB saya pulang dari Gereja Kanaan mengikuti ibadah KPR GKE
se-Resort Hilir. Waktu itu langit mendung dan gelap, tidak ada satu bintang
pun. Saat saya melintas di tempat pembuangan sampah, saya mendengar suara anak
kucing. Saya mencarinya dan menemukan mereka bernaung di bawah tanaman serai
dekat tempat sampah. Mereka masih kecil dan begitu lemah. Awalnya saya tak mau
mengambilnya karena ibu saya tak suka kucing. Tapi semakin lama saya mendengar
meongan mereka saya semakin iba dan tak sanggup jika meninggalkan mereka disana.
Bagaimana jika mereka kehujanan dan mati kelaparan? Beribu pertanyaan selalu terngiang di pikiran saya. Dan
akhirnya, saya putuskan untuk mengambil mereka dan membawanya pulang. Saya
membungkus mereka dengan jaket yang saya pakai.
Malam semakin larut dan hujan turun membasahi
saya dan kucing baru saya. Memang ini awal pertama saya memelihara kucing
setelah sekian lama memelihara anjing dan hamster. Sepanjang jalan saya
mengahadapi polemik yang begitu menyiksa, bagaimana kalau mamah marah dan
membuang mereka, bagaimana saya merawat mereka, bagaimana saya memberi mereka
makan, apa yang harus saya lakukan. Saya bingung dan tak tahu harus apa, namun
saya putuskan apa yang sudah saya lakukan sekarang tak akan saya sesali di
kemudian hari.
Hujan
makin lebat dan saya semakin basah kuyup, namun saya senang karena kucing baru
saya tetap hangat dan kering di bungkusan jaket hujan saya. Mereka tertidur
pulas, dan saling mendekap satu sama lain sedangkan saya sendiri dalam hujan
malam yang semakin deras mengguyur bumi. Perjalanan pulang ke rumah semakin
dekat, apa yang harus saya lakukan sekarang? Saya putuskan untuk mencari kotak
dan memberi mereka makan. Sesampainya di rumah saya memasukkan mereka ke kotak
dan memberinya makan seperti yang saya rencanakan semula. Mereka makan dengan
lahap, saling berbagi satu sama lain.
Malam
makin larut dan hujan semakin mendera, Palangkaraya, hati dan pikiran saya.
Perlahan-lahan sayup-sayup bulir-bulir mimpi menghinggapi dan melarutkan semua
kenyataan dan menenggelamkannya di alam bawah sadar sampai sang mentari pagi
membawanya kembali. Pagi yang indah,
pagi yang cerah, secerah wajah-wajah kucing baru saya yang masih terlelap di
dalam kotak mie instan ditemani kain lusuh.
Memang
awalnya ibu saya menentang keinginan saya untuk merawat mereka, tapi saya
bersikeras dan tak mau membuang mereka. Sedikit demi sedikit saya mencoba
melunakkan hati ibu saya dan perjuangan yang panjang itu berbuah manis, ibu
saya akhirnya merestui saya memelihara mereka dengan satu syarat saya harus merawat
mereka baik-baik. Bahkan ibu saya kerap menggantikan saya memberi mereka makan
jika saya lambat pulang dari sekolah.
Setelah
1 minggu mereka di rumah saya, saya putuskan untuk membuat tempat baru untuk
mereka. Sepulang sekolah saya mencari kayu-kayu bekas yang ada di sekolah saya
karena saat itu sekolah saya sedang direhap. Setelah saya rasa cukup, saya
membawanya pulang dan membuat sebuah kotak yang bisa dibilang sangat sederhana
dan tak layak untuk dibilang sebuah kandang. Kandang yang menyerupai kotak dengan
kayu-kayu lapuk disisinya. Di dalam kandang tersebut saya letakkan kain untuk
alas tempat tidur mereka bertiga. Sekali seminggu saya cuci dan saya ganti. Mereka
kucing-kucing yang pintar dan tak pernah membuat masalah. Saya sangat sayang
mereka.
Setiap
hari saya memberi mereka susu sebelum dan sesudah pulang sekolah, sampai-sampai
saya harus bangun lebih pagi dari biasa dan sering terlambat masuk sekolah.
Untuk memberi mereka susu saya mengorbankan uang jajan saya karena tak mungkin
untuk meminta uang lebih dengan kedua orang tua saya. Sedangkan penghasilan
orang tua saya pas-pasan untuk membiayai saya dan 4 saudara saya yang lain. Ini
keputusan saya untuk memelihara mereka dan memang setiap keputusan yang diambil
harus dapat dipertanggung-jawabkan apapun yang terjadi.
Hari
berganti hari dan bulan berganti bulan, kucing saya semakin besar dan sehat.
Mereka begitu manja dan kerap mengelus-elus kaki saya. Apalagi Si Pui-Pui,
kucing yang paling besar dan gendut sangat suka menggoda saudara-saudaranya
yang lain. Ia mengganggu mereka saat tidur dan menggigit-gigit telinga
saudara-saudaranya. Namun tidak dengan Si Hitam, kucing yang paling kecil dia
tak suka menggoda yang lain dan kerjanya hanya tidur dan makan. Walaupun begitu
saya sayang pada mereka semua.
Si
Pui-Pui sangat suka mandi dan tak terlalu takut air, jika saya mandikan dia
cuma diam dan memeong-meong. Sedangkan Si Pai-Pai dan Si Hitam, ya ampun mereka
sangat sulit dimandikan, selalu mencakar-cakar saya dan selalu mencoba
melarikan diri. Mereka memang kucing kampung namun bagi saya mereka sama
seperti kucing ras lainnya, sama-sama kucing yang butuh kasih sayang dan
menerima majikannya apa adanya. Yang membedakan mereka dengan kucing
“mahal-mahal” cuma bulu dan bentuk fisik mereka.
Si
Pui-Pui yang sering saya panggil si gendut memiliki mata biru yang indah,
sedangkan Si Pai-Pai dan Si Hitam mempunyai mata keabu-abuan. Begitu cemerlang.
Indah.
Mereka
kucing-kucing yang penurut, saat tiba waktunya untuk tidur pada malam hari
mereka akan masuk kotak yang saya buat dan tidur disana. Pada saat siang hari
mereka akan tidur di pot bunga depan pintu rumah saya. Untuk masalah BAB,
mereka tak pernah BAB di rumah meskipun mamah saya selalu menuduh mereka BAB di
rumah jika mereka masuk ke kamar saya dan bermain bersama saya. Mereka tak
senakal itu, mereka akan BAB di tanah samping rumah saya dan menguburnya
dalam-dalam.
Tak
terasa mereka semakin besar dan sering bermain-main di halaman rumah saya,
kejar-kejaran, sembunyi-sembunyi, dan saling menerkam di antara pot-pot bunga
yang besar dari tubuh mereka. Banyak anak-anak di sekitar rumah saya yang
memperhatikan tingkah lucu mereka. Kadang ada yang jahil dan melempar mereka
batu. Ya ampun, saat itu saya sangat marah karena bagi saya setiap makhluk
hidup yang diciptakan oleh Tuhan tidak pantas mendapat perlakuan semena-mena
seperti itu. Tuhan memberikan mandat kepada kita, manusia, untuk menjaga,
memelihara, dan mengembang-biakkan makhluk ciptaan lainnya (hewan/binatang,
tumbuhan) bukan malah menyiksa mereka. Menurut saya jika seseorang memelihara
hewan (binatang) dan menyiksa mereka, orang itu tidak memiliki prikemanusiaan
dan tidak pantas jika ia ingin memelihara binatang, memperlakukan bintang saja
semena-mena dan tak becus bagaimana jika ia meperlakukan manusia? Walau
bagaimanapun saya tegaskan tugas kita merawat dan memelihara semua ciptaan Tuhan
seperti yang sudah Tuhan mandatkan bukan malah menyiksa.
Malang
tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kucing saya Si Gendut Pui-Pui
hilang untuk yang kedua kalinya. Saya resah dan mencarinya namun tak
ketemu-ketemu. Memang dulu Si Pui-Pui dan Si Pai-Pai si kembar belang kuning
hilang namun berhasil saya temukan di sebelah rumah tetangga saya, mungkin
saking asyiknya main kejar-kejaran sampai lupa mereka jalan pulang. Kasihan
saat itu mereka basah kuyup dan kedinginan, saya mengeringkan mereka dan
mendekapnya. Mereka cuma diam dan tertidur pulas sama seperti Si Hitam yang
selalu tidur di pot bunga dari rotan saya.
Saya
sangat sedih Si Pui-Pui hilang, selama seminggu saya selalu mencarinya terus
dan terus. Namun mungkin memang sudah takdirnya, saya tak pernah menemukannya
lagi, saya cuma berharap orang yang mencurinya dari saya memperlakukannya lebih
baik dari apa yang saya lakukan. Si Pai-Pai dan Si Hitam pun sepertinya juga
sangat kehilangan setelah kepergian Si gendut Pui-Pui, mereka tak lagi main
kejar-kejaran. Saat siang mereka lebih banyak tidur dan tak seceria dulu. Si
Pai-Pai sekarang badannya makin menyusut seperti Si Hitam, makanannya tak ia
habiskan seperti dulu lagi. Saya bingung, saya harus bagaimana, namun saya
berjanji dalam hati saya harus merawat mereka supaya tetap ceria seperti dulu
tanpa Si Pui-Pui, nama pemberian adik saya Joan kepada mereka. Pui-Pui suatu
saat kembalilah. :’)
Malang,
memang malang. Setelah kepergian Si Pui-Pui, Si Pai-Pai dan Si Hitam ikut
menghilang. Saya tak habis pikir, tega sekali orang mencuri mereka dari saya.
Saya memang bukan orang kaya yang bisa membeli susu dan makanan mahal setiap
saat untuk mereka, namun dengan keterbatasan saya, saya mencoba untuk tetap
memelihara mereka dengan baik. Sungguh tega dan keterlaluan.
Saya
sangat berharap saya bisa menemukan mereka kembali, saya sangat menyayangi
mereka dan saya benci pada orang yang sudah mencurinya. Mencuri, bukan mencuri lagi
tapi lebih tepatnya merampas. Saya tak menduga, hari itu hari terakhir saya
memanjakan mereka. Hari terakhir saya melihat mereka tertidur pulas dalam pot
rotan saya. Hari terakhir mereka tidur di samping saya, hari terakhir mereka
mengelus kaki dan tangan saya, hari terakhir saya melihat mata mereka yang
indah dan bening, hari terakhir mereka menyambut saya pulang dan hari terakhir
mereka menyambut saya di depan pintu dengan meongan dan tingkah mereka yang
menggemaskan. Mungkin menyedihkan tapi apa mau dikata, nasib memang nasib, tak
dapat ditolak, tak dapat dibuang, tak dapat dihindari. Namun saya berharap,
siapapun yang menjadi majikan mereka, memperlakukan mereka dengan baik dan
tidak menyiksa ataupun memperlakukan mereka semena-mena. Kucing-kucingku jika suatu saat kalian
menemukan jalan pulang, pulanglah kepadaku, kembalilah. Aku sangat merindukan
kalian. Sayonara Pui-Pui endut, Pai-Pai manja, dan Hitam tukang tidur. Aku
sayang kalian. :)