“Kenapa?
Aku gak bisa lama-lama.”
“Nanti
dulu”, jawabnya sambil duduk di rumput mengatur nafas.
“Selamat
ulang tahun.”
Hanya
itu yang bisa ia ungkapkan setelah berlari-lari menuju kemari sampai membuat
kakinya lecet dan terluka.
“Oh.
Terus?”
“Ini”,
katanya sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantong jaketnya. “Aku cuma
mau kasih ini. Ya udah aku pulang.”
“Ya.”
“Ya.”
“Hmm,
aku boleh lewat depan rumah kamu gak?”
“Duhh, jangan. Banyak tamu di rumahku. Merepoti ja.”
“Duhh, jangan. Banyak tamu di rumahku. Merepoti ja.”
“Cuma
lewat ja. Aku takut lewat sana.”
“Siapa
suruh malam-malam kesini.”
“Maaf.
Bolehkan? Aku takut lewat sana. Jalannya gelap. Sepi.”
“Lewat
ja. Ingat. Cuma lewat.”
“Iya,
makasih sayang.”
Laki-laki
itu pergi tanpa membalas kata-katanya. Gadis itu hanya diam dan terus memandangnya
sampai menghilang di balik bangunan bercat putih itu. Hening. Kini, ia
merasakan kelelahan yang amat sangat. Ia langsung terduduk kembali. Langit
begitu mendung dengan angin yang menusuk kulit. Perutnya terasa nyeri, tangannya
bergetar, ia begitu kehausan. Apa yang harus aku lakukan, pikirnya.
Jam
sudah menunjukkan pukul 20.49 WIB
Tak
terasa sudah 2 menit ia diam tanpa melakukan apa-apa. Aku harus pulang,
pikirnya. Dengan kekuatan yang masih tersisa ia segera berdiri dan berjalan
walau agak sempoyongan dengan sebuah lengkungan kecil di raut wajahnya. Di
dalam hati, ia begitu bahagia karena sudah bertemu dengan kekasih yang sangat
ia rindukan dan dapat memberikan kado ulangtahun walau terlambat 1 hari dari
hari ulang tahunnya. Sebenarnya ia ingin memberinya kemaren tapi laki-laki itu
menolak bertemu dengannya karena merayakan ulang tahun bersama teman-temannya.
Kado
ulangtahun itu begitu sederhana namun begitu special. Ia teringat perjuangan
yang ia lakukan untuk membelinya. Ia bahkan rela tak jajan sebulan. Semuanya ia
lakukan hanya untuk membuat kekasihnya bahagia. Ia sadar walaupun ia selalu
mencoba ia tak mungkin bisa membahagiakan kekasihnya, berwajah elok tidak,
memiliki harta pun tidak, ia penuh dengan kekurangan dan kelemahan. Perbedaan
mereka bagaikan langit dan bumi. Dan kini, ia tahu ia telah melakukan kegilaan
lainnya yang membuat dirinya makin terlihat bodoh dan tak berarti di depan
kekasihnya.
Kini
ia sampai di ujung gang. Gang itu buntu dan hanya bisa dilewati setelah menyeberangi parit kecil yang
merupakan halaman belakang rumah kekasihnya. Dengan hati-hati ia melangkah. Sayang
keluarlah, katanya dalam hati sambil melirik ke motor yang berjejer di depan
rumah. Jangan, aku cuma bikin kamu malu kalo kamu keluar, hardiknya dalam hati
membatalkan keinginannya. Sayang aku pulang. Selamat malam. Aku sayang kamu.
Di
tengah jalan pulang, ia masih merasakan nyeri di perutnya. Wajar saja, ia tak
ada makan sejak siang dan begitu kehausan. Uang di kantong pun tak ada. Aku
harus pulang, pikirnya sambil mempercepat langkahnya. Harus. Dan langit pun
mulai membisu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA :)