Sabtu, 11 Januari 2014

PUI-PUI, PAI-PAI, HITAM


Dulu, saya mempunyai 3 ekor kucing. Bukan kucing ras yang harganya berjuta-juta hanya kucing dari kalangan bawah yaitu kucing kampung. Saya memungut mereka dari tempat sampah.

Ceritanya begini.
Sekitar pukul 20.00 WIB saya pulang dari Gereja Kanaan mengikuti ibadah KPR GKE se-Resort Hilir. Waktu itu langit mendung dan gelap, tidak ada satu bintang pun. Saat saya melintas di tempat pembuangan sampah, saya mendengar suara anak kucing. Saya mencarinya dan menemukan mereka bernaung di bawah tanaman serai dekat tempat sampah. Mereka masih kecil dan begitu lemah. Awalnya saya tak mau mengambilnya karena ibu saya tak suka kucing. Tapi semakin lama saya mendengar meongan mereka saya semakin iba dan tak sanggup jika meninggalkan mereka disana. Bagaimana jika mereka kehujanan dan mati kelaparan? Beribu pertanyaan  selalu terngiang di pikiran saya. Dan akhirnya, saya putuskan untuk mengambil mereka dan membawanya pulang. Saya membungkus mereka dengan jaket yang saya pakai.
 Malam semakin larut dan hujan turun membasahi saya dan kucing baru saya. Memang ini awal pertama saya memelihara kucing setelah sekian lama memelihara anjing dan hamster. Sepanjang jalan saya mengahadapi polemik yang begitu menyiksa, bagaimana kalau mamah marah dan membuang mereka, bagaimana saya merawat mereka, bagaimana saya memberi mereka makan, apa yang harus saya lakukan. Saya bingung dan tak tahu harus apa, namun saya putuskan apa yang sudah saya lakukan sekarang tak akan saya sesali di kemudian hari.
Hujan makin lebat dan saya semakin basah kuyup, namun saya senang karena kucing baru saya tetap hangat dan kering di bungkusan jaket hujan saya. Mereka tertidur pulas, dan saling mendekap satu sama lain sedangkan saya sendiri dalam hujan malam yang semakin deras mengguyur bumi. Perjalanan pulang ke rumah semakin dekat, apa yang harus saya lakukan sekarang? Saya putuskan untuk mencari kotak dan memberi mereka makan. Sesampainya di rumah saya memasukkan mereka ke kotak dan memberinya makan seperti yang saya rencanakan semula. Mereka makan dengan lahap, saling berbagi satu sama lain.
Malam makin larut dan hujan semakin mendera, Palangkaraya, hati dan pikiran saya. Perlahan-lahan sayup-sayup bulir-bulir mimpi menghinggapi dan melarutkan semua kenyataan dan menenggelamkannya di alam bawah sadar sampai sang mentari pagi membawanya kembali.  Pagi yang indah, pagi yang cerah, secerah wajah-wajah kucing baru saya yang masih terlelap di dalam kotak mie instan ditemani kain lusuh.
Memang awalnya ibu saya menentang keinginan saya untuk merawat mereka, tapi saya bersikeras dan tak mau membuang mereka. Sedikit demi sedikit saya mencoba melunakkan hati ibu saya dan perjuangan yang panjang itu berbuah manis, ibu saya akhirnya merestui saya memelihara mereka dengan satu syarat saya harus merawat mereka baik-baik. Bahkan ibu saya kerap menggantikan saya memberi mereka makan jika saya lambat pulang dari sekolah.
Setelah 1 minggu mereka di rumah saya, saya putuskan untuk membuat tempat baru untuk mereka. Sepulang sekolah saya mencari kayu-kayu bekas yang ada di sekolah saya karena saat itu sekolah saya sedang direhap. Setelah saya rasa cukup, saya membawanya pulang dan membuat sebuah kotak yang bisa dibilang sangat sederhana dan tak layak untuk dibilang sebuah kandang. Kandang yang menyerupai kotak dengan kayu-kayu lapuk disisinya. Di dalam kandang tersebut saya letakkan kain untuk alas tempat tidur mereka bertiga. Sekali seminggu saya cuci dan saya ganti. Mereka kucing-kucing yang pintar dan tak pernah membuat masalah. Saya sangat sayang mereka.
Setiap hari saya memberi mereka susu sebelum dan sesudah pulang sekolah, sampai-sampai saya harus bangun lebih pagi dari biasa dan sering terlambat masuk sekolah. Untuk memberi mereka susu saya mengorbankan uang jajan saya karena tak mungkin untuk meminta uang lebih dengan kedua orang tua saya. Sedangkan penghasilan orang tua saya pas-pasan untuk membiayai saya dan 4 saudara saya yang lain. Ini keputusan saya untuk memelihara mereka dan memang setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan apapun yang terjadi.
Hari berganti hari dan bulan berganti bulan, kucing saya semakin besar dan sehat. Mereka begitu manja dan kerap mengelus-elus kaki saya. Apalagi Si Pui-Pui, kucing yang paling besar dan gendut sangat suka menggoda saudara-saudaranya yang lain. Ia mengganggu mereka saat tidur dan menggigit-gigit telinga saudara-saudaranya. Namun tidak dengan Si Hitam, kucing yang paling kecil dia tak suka menggoda yang lain dan kerjanya hanya tidur dan makan. Walaupun begitu saya sayang pada mereka semua.
Si Pui-Pui sangat suka mandi dan tak terlalu takut air, jika saya mandikan dia cuma diam dan memeong-meong. Sedangkan Si Pai-Pai dan Si Hitam, ya ampun mereka sangat sulit dimandikan, selalu mencakar-cakar saya dan selalu mencoba melarikan diri. Mereka memang kucing kampung namun bagi saya mereka sama seperti kucing ras lainnya, sama-sama kucing yang butuh kasih sayang dan menerima majikannya apa adanya. Yang membedakan mereka dengan kucing “mahal-mahal” cuma bulu dan bentuk fisik mereka.
Si Pui-Pui yang sering saya panggil si gendut memiliki mata biru yang indah, sedangkan Si Pai-Pai dan Si Hitam mempunyai mata keabu-abuan. Begitu cemerlang. Indah.
Mereka kucing-kucing yang penurut, saat tiba waktunya untuk tidur pada malam hari mereka akan masuk kotak yang saya buat dan tidur disana. Pada saat siang hari mereka akan tidur di pot bunga depan pintu rumah saya. Untuk masalah BAB, mereka tak pernah BAB di rumah meskipun mamah saya selalu menuduh mereka BAB di rumah jika mereka masuk ke kamar saya dan bermain bersama saya. Mereka tak senakal itu, mereka akan BAB di tanah samping rumah saya dan menguburnya dalam-dalam.
Tak terasa mereka semakin besar dan sering bermain-main di halaman rumah saya, kejar-kejaran, sembunyi-sembunyi, dan saling menerkam di antara pot-pot bunga yang besar dari tubuh mereka. Banyak anak-anak di sekitar rumah saya yang memperhatikan tingkah lucu mereka. Kadang ada yang jahil dan melempar mereka batu. Ya ampun, saat itu saya sangat marah karena bagi saya setiap makhluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan tidak pantas mendapat perlakuan semena-mena seperti itu. Tuhan memberikan mandat kepada kita, manusia, untuk menjaga, memelihara, dan mengembang-biakkan makhluk ciptaan lainnya (hewan/binatang, tumbuhan) bukan malah menyiksa mereka. Menurut saya jika seseorang memelihara hewan (binatang) dan menyiksa mereka, orang itu tidak memiliki prikemanusiaan dan tidak pantas jika ia ingin memelihara binatang, memperlakukan bintang saja semena-mena dan tak becus bagaimana jika ia meperlakukan manusia? Walau bagaimanapun saya tegaskan tugas kita merawat dan memelihara semua ciptaan Tuhan seperti yang sudah Tuhan mandatkan bukan malah menyiksa.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kucing saya Si Gendut Pui-Pui hilang untuk yang kedua kalinya. Saya resah dan mencarinya namun tak ketemu-ketemu. Memang dulu Si Pui-Pui dan Si Pai-Pai si kembar belang kuning hilang namun berhasil saya temukan di sebelah rumah tetangga saya, mungkin saking asyiknya main kejar-kejaran sampai lupa mereka jalan pulang. Kasihan saat itu mereka basah kuyup dan kedinginan, saya mengeringkan mereka dan mendekapnya. Mereka cuma diam dan tertidur pulas sama seperti Si Hitam yang selalu tidur di pot bunga dari rotan saya.
Saya sangat sedih Si Pui-Pui hilang, selama seminggu saya selalu mencarinya terus dan terus. Namun mungkin memang sudah takdirnya, saya tak pernah menemukannya lagi, saya cuma berharap orang yang mencurinya dari saya memperlakukannya lebih baik dari apa yang saya lakukan. Si Pai-Pai dan Si Hitam pun sepertinya juga sangat kehilangan setelah kepergian Si gendut Pui-Pui, mereka tak lagi main kejar-kejaran. Saat siang mereka lebih banyak tidur dan tak seceria dulu. Si Pai-Pai sekarang badannya makin menyusut seperti Si Hitam, makanannya tak ia habiskan seperti dulu lagi. Saya bingung, saya harus bagaimana, namun saya berjanji dalam hati saya harus merawat mereka supaya tetap ceria seperti dulu tanpa Si Pui-Pui, nama pemberian adik saya Joan kepada mereka. Pui-Pui suatu saat kembalilah. :’)
Malang, memang malang. Setelah kepergian Si Pui-Pui, Si Pai-Pai dan Si Hitam ikut menghilang. Saya tak habis pikir, tega sekali orang mencuri mereka dari saya. Saya memang bukan orang kaya yang bisa membeli susu dan makanan mahal setiap saat untuk mereka, namun dengan keterbatasan saya, saya mencoba untuk tetap memelihara mereka dengan baik. Sungguh tega dan keterlaluan.
Saya sangat berharap saya bisa menemukan mereka kembali, saya sangat menyayangi mereka dan saya benci pada orang yang sudah mencurinya. Mencuri, bukan mencuri lagi tapi lebih tepatnya merampas. Saya tak menduga, hari itu hari terakhir saya memanjakan mereka. Hari terakhir saya melihat mereka tertidur pulas dalam pot rotan saya. Hari terakhir mereka tidur di samping saya, hari terakhir mereka mengelus kaki dan tangan saya, hari terakhir saya melihat mata mereka yang indah dan bening, hari terakhir mereka menyambut saya pulang dan hari terakhir mereka menyambut saya di depan pintu dengan meongan dan tingkah mereka yang menggemaskan. Mungkin menyedihkan tapi apa mau dikata, nasib memang nasib, tak dapat ditolak, tak dapat dibuang, tak dapat dihindari. Namun saya berharap, siapapun yang menjadi majikan mereka, memperlakukan mereka dengan baik dan tidak menyiksa ataupun memperlakukan mereka semena-mena.  Kucing-kucingku jika suatu saat kalian menemukan jalan pulang, pulanglah kepadaku, kembalilah. Aku sangat merindukan kalian. Sayonara Pui-Pui endut, Pai-Pai manja, dan Hitam tukang tidur. Aku sayang kalian. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH ATAS KOMENTARNYA :)